APAKAH TERORISME HARUS DIATASI DENGAN KEKUATAN MILITER?

Semakin banyaknya aksi terorisme di dunia membuat beberapa negara kewalahan dan mengalami perpecahan. Aksi ini dilakukan dengan tindakan terror atau ancaman kekerasan di tengah masyarakat yang sengaja membuat masyarakat takut dan cemas. Mengakibatkan terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa dan seringkali dilakukan atas nama suatu agama atau ideologi.

Dalam jejak sejarah, aksi ini sudah terjadi sejak lama, namun memiliki istilah yang berbeda. Istilah terorisme baru dipopulerkan saat Revolusi Perancis pada tahun 1789. Terorisme dikaitkan dengan negara yang melakukan pemenggalan secara terbuka pada orang-orang yang dinyatakan sebagai musuh negara. Pada tahun-tahun berikutnya, bentuk terorisme negara lebih berkembang dipraktikkan oleh Stalinis Uni Soviet dan Jerman Nazi pada tahun 1920-1940-an. 

Awal Terorisme Di Indonesia

Terorisme di Indonesia baru mulai di era 1980-an, yang ditandai dengan kelompok fanatik islam. Aksi terorisme yang pernah terjadi berlokasi di Aceh, Ambon, dan Poso yang dipicu konflik bermotif solidaritas agama dengan terget sasarannya adalah rumah ibadah dan sarana publik. Inilah penyebab awalnya terjadi aksi terorisme di Indonesia. Dengan berjalannya waktu, semakin banyak aksi teror yang menganggu dan mengancam keselamatan warga sipil. Contohnya kejadian dari aksi terorisme yang terjadi pada bulan Mei 2018 lalu yang terjadi secara berurutan dalam satu waktu. 

Pada bulan Mei 2018, terjadi aksi teror yang dilakukan secara berurutan di Mako Brimob, Surabaya, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam sebuah program televisi, yang mengundang Kapolri Jendral Tito Karnavian sebagai narasumber, Ia menjelaskan berbagai serangan aksi teror yang terjadi di Indonesia pada 8 Mei 2018 lalu. Serangan yang terjadi pada 8 Mei 2018 di Mako Brimob menyebabkan penyerang tewas, serta anggota Polri yang sedang bertugas juga gugur dalam aksi penyerangan tersebut. 

Selain itu, Tito (2018), menjelaskan bahwa terjadi penangkapan oleh Polri Karawang, dan Bekasi yang berhasil menangkap 4 orang, lalu 2 orang lainnya ditembak dan 1 tertembak mati, lalu dilanjutkan dengan tertangkapnya 2 wanita di dekat Mako Brimob. Aksi ini masih berlanjut di Surabaya, tepatnya di 3 gereja yang dilakukan oleh satu keluarga. Tak berhenti sampai disini, malamnya juga terjadi peristiwa ledakan di Rusunawa dan Sidorarjo yang pelakunya juga satu keluarga.

Hal ini menggambarkan, bahwa di Indonesia mulai terjadi beberapa aksi terorisme yang dilakukan secara individu maupun berkelompok. Aksi ini dipicu oleh rasa ketidakpuasan atas kinerja pemerintah atau bentuk protes suatu kelompok yang ingin aspirasinya didengar oleh pemerintah. Namun, yang mereka lakukan ini adalah tindakan yang salah, bisa merugikan banyak orang dan membahayakan nyawa orang lain yang tidak bersalah.

Siapa dan Mengapa Ada Kelompok Teroris Di Indonesia?

Gelombang teroris pertama yang muncul di Indonesia sudah ada sejak lama dan disebut dengan kelompok pertama yaitu Al Qaeda. Al Qaeda merupakan organisasi militer fundamental islam sunni, yang bertujuan menjaga kepentingan islam dari pengaruh luar. Adanya Al Qaeda ini berdampak buruk terhadap Indonesia, setelah itu muncul juga satu gerakan Al Jamaah Al Islamiyah di tahun 1993. Mereka membangun jaringan dan melakukan serangan pertama di Gereja Padang Bulan Sumut tahun 1998 dan melakukan serangan di tahun 2000. Serangan di gereja ini bukan yang pertama kali, namun sudah cukup banyak kejadian di serang nya gereja dalam 1 malam natal.

Kemudian, puncak terorisme terjadi pada peristiwa teror bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 tepat jam 23.15 WITA. Bom Bali I ini merupakan peristiwa terorisme terbesar di Indonesia dan kedua terbesar setelah peristiwa terorisme Nine Eleven di Amerika, peristiwa terorisme ini memakan 202 korban meninggal dunia dan hampir 800 orang terluka. Setelah ditelusuri oleh Satgas dari Polri, ternyata jaringan Teroris Bom Bali I ini memiliki banyak jaringan diluar negeri dan dalam negeri, termasuk Al Jamaah Al Islamiyah yang ada kaitannya dengan Al Qaeda.

Dengan kejadian teror Bom Bali ini, menguak adanya jaringan teroris di Indonesia. Tito (2018), menjelaskan bahwa Polri telah melakukan usaha penangkapan di jaringan Al Jamaah Al Islamiyah selama 2002-2011, dan berhasil menangkap 400 orang yang bergabung dalam jaringan tersebut, termasuk tokoh-tokoh utamanya. Setelah Nurdin M Top tertembak mati, tim Polri melakukan penangkapan yang cukup banyak, sehingga aksi terorisme pun menurun. Namun, disaat terorisme menurun, malah muncul kelompok baru di Suriah-Irak, yaitu ISIS.

Setelah Al Qaeda melemah, mereka membentuk organisasi yang bernama ISIS (Islamic State in Iraq and Syria). ISIS berideologi takfiri atau menganggap umat diluarnya adalah kafir atau murtad. Selain Al Jamaah Al Islamiyah, ada kelompok baru yaitu Tauhid wal Jihad yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman. Dia tertangkap dalam kasus bom Cimanggis 2003, lalu terlibat lagi tahun 2010 dalam kasus pelatihan militer di Aceh yang bekerja sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Iwan Darmawan Mutho (Rois) yang menjadi pelaku utama bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004.

Pemerintah Ingin TNI Terlibat

Jika terus dibiarkan, jaringan terorisme di Indonesia akan terus berkembang dan bisa membahayakan keutuhan negara suatu saat nanti. Oleh karena itu, dibuatlah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Densus 88 yang bertujuan menangani segala ancaman terorisme termasuk teror bom. Namun, kinerja Densus 88 dianggap belum maksimal, sehingga pemerintah membicarakan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Namun, beberapa pihak menolak disahkan nya keterlibatan TNI dalam menangani terorisme karena dinilai bisa membawa nampak negatif yang lebih besar. 

Keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme hanya sebatas membantu. Seperti operasi Tinombala yang berhasil membunuh Santoso, yaitu pemimpin kelompoknya dalam pemberontakan di Poso. Dengan adanya kerja sama TNI dan Densus 88 (Polri) membuat mereka berhasil menangani aksi terorisme yang dipimpin Santoso saat itu dan TNI juga berhasil dalam mengamankan pembajakan kapal sinar kudus di Somalia. 

Tanggapan Mantan Kepala BNPT

Keterlibatan TNI memang sangat berperan dalam kasus terorisme di Indonesia, namun membawa ancaman yang lebih besar tanpa kita sadari. Seperti yang dikatakan oleh mantan kepala BNPT 2010-2014, Irjen (Pol) Purn.Ansyaad Mbai, dalam diskusi terbuka via zoom. Ansyaad (2020), menjelaskan bahwa hasil penelitian itu mengatakan bahwa tidak ada bukti tentang efektifitas pendekatan militer dalam menangani terorisme, hal ini justru membuat peningkatan munculnya ancaman yang lebih besar. Seperti yang terjadi di Afganistan, penerapan Operasi Militer skala besar di Afganistan dan di beberapa negara Timur Tengah tidak menghentikan gerakan radikalisme terorisme global Al Qaeda, malah memperburuk keadaan dan menyebabkan kebencian sehingga mereka berkembang menjadi anggota yang lebih besar dengan nama ISIS.

Adapun kasus di Indonesia, Aansyad mencontohkan konflik di Organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertujuan ingin lepas dari Indonesia tahun 1976. Saat itu, pemerintah melakukan operasi miiter besar-besaran selama puluhan tahun. Namun, tindakan ini bukan menyelesaikan masalah, malah membuat internasionalisasi GAM semakin melambung namanya di gerakan separatis di mata Internasional.  Ketika dilakukan operasi militer di Aceh,  bukannya menyelesaikan permasalahan, malah mengakibatkan terjadinya internasionaliasasi GAM yang menyebabkan pengaruh internasional masuk, inilah yang harus kita hindari. Terorisme adalah tindak pidana, yang harus diselesaikan dengan hukum bukan dengan perang.

Apakah TNI Perlu Turun Menangani Terorisme?

Pengamat terorisme dan Lakpsdam NU kota Malang, Yusli Effendi (2020) mengatakan bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme justru dikhawatirkan membentuk sekuritisasi. Sementara itu, Dekan FISIP UB Malang, mengatakan bahwa kondisi radikalisme ini sulit untuk diselesaikan. Ada banyak konflik di tengah masyarakat, mulai dari SDA, agraria hingga konflik etnis. Ditambah dengan adanya pemahaman agama yang dianggap menyimpang akhirnya berubah menjadi gerakan ekstrimisme atau jihadis (Sholih, 2020). 

Sampai saat ini, masih dibahas mengenai Perpres untuk melibatkan kekuatan militer dalam penanganan terorisme. Dengan adanya keterlibatan TNI dalam menangani terorisme, dianggap tidak relevan dengan UU TNI dan dinilai berbahaya bagi penegakan hukum yang bisa menambah pelanggaran HAM di Indonesia.

Jadi, menurut saya, berdasarkan pendapat dari orang yang ahli dalam bidang hukum, terorisme dan HAM di atas, sebaiknya TNI tidak menghadapi langsung aksi terorisme di Indonesia. TNI hanya diperlukan turun langsung jika keadaan memang sangat darurat dan DENSUS 88 tidak bisa menangani kasus tersebut. Kita bisa belajar dari pengalaman beberapa negara yang terlibat konflik dalam menyelesaikan kasus terorisme, jika dihadapi dengan kekuatan militer, pada akhirnya bisa membawa pengaruh yang lebih buruk lagi. Jadi, peran yang bisa kita lakukan sekarang dalam melawan terorisme ini bisa kita lakukan dengan cara menyadari dan paham betul bahwa kita semua harus terus semangat dan bersatu dalam memerangi isu dan gerakan radikal, tidak mudah dipengaruhi, dan tidak melakukan aksi yang mengancam keamanan rakyat Indonesia.


Daftar Pustaka


1.  Idntimes.com. (2018). Awal Mula Gerakan Terorisme Indonesia hingga Rentetan Bom Mei 2018. Diakses pada 14 Oktober 2020, dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/awal-mula-gerakan-terorisme-indonesia-hingga-rentetan-bom-mei/9

2.  Suaraindonesia.co.id. (2020). Soal Pelibatan TNI Tangani Terorisme, Ini Kata Mantan Kepala BNPT. Diakses pada 14 Oktober 2020, https://malang.suaraindonesia.co.id/news/tni-polri/5f8467a8593ed/soal-pelibatan-tni-tangani-terorisme-ini-kata-mantan-kepala-bnpt

3.  Kumparan.com. (2020). Mempertimbangkan TNI Ikut Serta Dalam Penanganan Terorisme, Efektifkah? Diakses pada 14 Oktober 2020, https://kumparan.com/tugumalang/mempertimbangkan-tni-ikut-serta-dalam-penanganan-terorisme-efektifkah-1uNUZVy7JIH/full

4.Bacamalang.com. (2020). Yusli Effendi: Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme  Bentuk Sekuritisasi Terorisme. Diakses pada 14 Oktober 2020,    https://bacamalang.com/12/10/2020/yusli-effendi-pelibatan-tni-dalam-penanganan-terorisme-bentuk-sekuritisasi-terorisme/

Comments